Biasa saja
Covid19 membuat orang secara tidak sadar menjadi lupa akan Tuhannya. Secara tidak sadar ya. Lewat keluhan2, ketakutan2, dan sebagainya.
Banyak netizen yang komentar/nggrundel begini: buat apa saya 2 bulan stay at home kalau masih banyak yang keluyuran dibiarkan begitu saja, pemerintah tidak tegas, pengorbanan saya rasanya sia-sia.
Komentar seperti itu banyak Aku jumpai di sosial media. Menurutku itu bentuk peritungan dan mengumumkan kebodohannya.
Kok bisa? Begini ya, 2 bulan di rumah saja itu bukan pengorbanan, untuk diri sendiri kok peritungan, kalaupun itu pengorbanan, untuk diri sendiri kok ga mau berkorban, untuk diri sendiri loh, bukan untuk orang lain, kalau ada imbasnya ke orang lain, itu sekedar collateral effect saja, tidak usah dipikirkan. Juga tidak ada yang sia-sia. Karena ketika 2 bulan di rumah saja itu, misalnya kita sering keluyuran, siapa bisa jamin kita tidak terkena virus, jangan2 kita termasuk orang yang tidak kuat, ikut2an seperti yang lain keluyuran eh kena virus, makanya harus tetap bersyukur selama 2 bulan itu tetap di rumah saja.
Lalu ada yang komentar, orang kok susah diatur, disuruh di rumah saja kok masih bandel keluyuran. Coba cara berpikir diubah. Alhamdulillah kita tetap bisa makan dengan layak, enak, rebahan, ga mikir, walaupun di rumah saja, tetapi orang2 yang tetap keluar rumah itu mungkin karena kalau tidak keluar rumah tidak bisa makan layak, enak. Loh kalau Kita bisa makan layak dan enak, masa mereka tidak boleh. Mereka yang masih keluar rumah itu mungkin juga inginnya seperti kita, tetap di rumah saja, rebahan, nyantai, tetap bisa makan layak dan enak. Tapi kan nasib orang beda-beda. Coba berpikir begitu, agar lebih adem.
Tapi memang, banyak di antara orang2 yang masih keluar2 rumah keluyuran itu tujuannya bukan untuk mencari nafkah, ngeluyur aja gitu karena bosan di rumah terus, atau karena memang bandel ga bisa diatur, dan alasan2 lainnya. Itu juga tidak perlu disebeli, dikeseli, dilihat saja, biasa. Loh, orang kampungku di Jakarta ini, seminggu pertama WFH doang sepinya, orang ga kemana2, tapi minggu kedua dan seterusnya, biasa lagi. Keluar2 keluyuran kembali membahana. Aku biasa saja melihatnya. Tidak berkomentar apapun. Karena prinsipku itu gampang, Aku ini bukan pemerintah jadi ga mau ngatur2 orang, orang lain mau apa silakan saja dengan risiko ditanggung sendiri. Yang penting Aku ikut anjuran pemerintah, stay at home, keluar kalau memang perlu banget lengkap dengan precautionnya. Dan yang aku ingatkan cuma keluarga kakakku. Ikuti anjuran pemerintah, gausah banyak keluar rumah, buat apa, kalau perlu banget pake masker jangan lupa, pulangnya cuci tangan cuci muka. Setelah itu, hiduplah seperti biasa. Tidak usah takut berlebihan, heboh berlebihan, dramak berlebihan. Biasa saja.
Ke sanak saudara yang di kampung, karena jauh, kadang muncul perasaan cemas. Melihat postingan keponakan yang tetap main futsal, rame2 sama temen2nya, dll itu, paling Aku WA "ya sudah hati2 saja, banyak berdoa, ingat mamamu itu punya asthma." "Jangan lupa pake masker, kalau ga perlu gausah keluar2." Simpel. Aku bukan tipe orang yang hobi melarang2 atau terlalu banyak menasihati. Bukan gayaku itu. Aku ini observer dan akan memberikan segambreng penilaian pada waktunya hahaha.
Terkait covid19 ini, ada yg mau diatur, ada yang susah diatur, ada yang taat di rumah saja, ada yang tetap keluyuran ke mana2. Aku malah melihatnya sebagai suatu keseimbangan. Kalau semua orang diam di rumah lalu semua jadi sepi seperti Kota mati, bukankah itu menakutkan, sepertinya covid19 ini benar2 menakutkan. Kalau semua orang keluyuran seperti biasa, kesannya kok meremehkan covid19 yang ditakuti banyak negara. Jadi sudah benar orang Indonesia ini. Loh coba kalau semua orang diam di rumah, orang makin ga berani keluar rumah, padahal kadang sesekali perlu keluar rumah untuk belanja sembako, ke ATM, atau kemana. Barokahnya ada orang gabisa diurus itu kan, org2 yg terlalu takut sampai rela mengurung diri di rumah itu kan kalau pas perlu banget keluar jadi ga takut, pasti bakal mikir "bismillah, insyaallah gapapa cuma sekali ini, ada perlu banget soalnya, org2 yg keluyuran itu aja gapapa kok" jadi berani keluar. Lah kalo sepi-pi-pi kaya Kota mati, bisa2 mikirnya "jangan keluar, nanti bisa2 pas kita keluar Kita kena trs mati, lihat tuh gaada yg berani keluar, ini serem banget soalnya sampai gaada yg berani keluar."
Aku senang dengan kampungku di Jakarta ini, karena orangnya nyantai. Loh kalau Aku ini simpel. Mereka nyantai, biar saja, cukup Aku isolasi diriku sendiri, gapapa. Saking nyantainya, kampungku tidak pakai portal2an. Kampung2 yang lain itu pada diportal pintu masuk gangnya. Dan Aku sebel sekali melihatnya. Sadar ga sih kalau portal2an itu bentuk keegoisan dan menyusahkan orang lain. Egoisnya begini, mereka dari dalam masih keluar2, tapi melarang orang masuk, loh kalau melarang orang masuk harusnya mereka jangan keluar dong, baru adil itu namanya. Gausah diportal, tinggal sabar diam di rumah saja. Apa iya virusnya bakal terbang dari jalan depan rumah lalu masuk ke dalam rumah kalau misal ada orang covid lewat depan rumah? Sepertinya tidak begitu penyebarannya. Juga portal itu menyusahkan orang lain. Tukang sayur yang biasa lewat tidak bisa lewat, penjualan turun, atau terpaksa muter jauh, itu merepotkan sekali. Juga sebenernya menyusahkan diri sendiri, biasa bisa belanja di depan rumah tinggal nunggu tukang sayur lewat ini jadi ga bisa. Lalu menyusahkan ojol mesti muter2. Intinya portal itu menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Menyusahkan diri sendiri itu namanya bodoh, menyusahkan orang lain itu dosa. Ngerti itu kan? Ngerti tapi tetap portal2an.
Terus Ada yang komentar, lah itu komplek yang sudah diportal dari dulu kok ga dikomen? Lah itu kan sudah biasa dari dulu, ya begitu. Itupun menurutku tetap tidak baik. Yang namanya jalan itu untuk lewat orang banyak. Kenapa menutup jalan padahal sendirinya butuh lewat jalan lain, kecuali keluar rumah pake terbang, silakan portal, wong masih butuh lewat jalan lain kok portal2an, sungguh suatu bentuk keegoisan, kesombongan, kebodohan (Karena menyusahkan diri sendiri kan jadi muter juga kalau kemana2), dan menyusahkan orang lain itu dosa. Dan kampungku di Jakarta ini tidak dipasang portalnya, seperti biasa portal dipasang jam 1 malam saja, habis subuh sampai jam 1 malam tetap dibuka, jadi orang tetap gampang keluar masuk, ojol tetap gampang kalau lewat, tukang sayur dan tukang jualan yang lain tetap bisa lewat seperti biasa.
Oh ya, beberapa waktu lalu, ada orang di kampungku yang sekeluarga positif Corona. Aku tadinya mengira mungkin kampungku bakal ikut2an lockdown2an ga jelas itu, lalu sepi, ternyata tetap biasa saja. Kehidupan berjalan seperti biasanya. Karena orang di kampung sudah ada yang positif, paling Aku mengingatkan keluarga kakakku, kalau mesti keluar jangan lupa pake masker, kalau ke warung pake masker, gausah kebanyakan ngobrol, langsung pulang. Wong kakakku nanya 'jadi kita jangan lewat depan rumahnya atau gimana, mis?" Jawabku "lewat ya lewat saja kalau memang jalannya situ, yang penting pake masker, trs berdoa." Loh, gausah takut berlebihan, takut berlebihan itu membuat stigma buruk, stigma buruk itu akibatnya lebih buruk, lihat akibatnya ke tenaga2 kesehatan itu. Alhamdulillah kampungku ga nambah covidnya. Dan bisa tetap biasa saja. Nice.
Di kampungku di Jakarta ini, Shalat jamaah tetap berjalan seperti biasa. Seperti biasa, yang rajin ke mushala doang yang jamaahan, yang ga rajin ke mushala ya engga. Nah ini yang lucu, jarang jamaahan, jumatan kadang2 tapi ributnya kaya orang paling alim sedunia, ngata2in pemerintah zalim krn melarang jamaahan. Padahal yang biasa jamaahan Aku lihat tidak banyak komentar, karena mereka sudah hafal siapa2 yang biasa jamaahan dan siapa yang enggak. Yang biasa jamaahan malah ga ribut karena ga mau bermasalah malah nanti beneran ga boleh jamaahan, repot malah, mereka memilih meng-off-kan speaker mushala/masjid, lalu jamaahan seperti biasa. Jd yg ga tahu, ngertinya mushala ditutup, padahal jamaahan seperti biasa, bandel memang, hahaha. Makanya Aku malah balik komentar ke orang2 seperti itu "halah biasanya juga ga jamaahan, jumatan juga jarang2, ndadak ribut mushala/masjid dilarang". Tarawih, tadarus, juga tetap biasa. Dengan speaker off. Lalu apakah orang yg ribut pemerintah zalim itu ikut jamaahan? Tidak juga. Memang maunya ribut saja mereka. Kakak iparku itu termasuk rajin ibadahnya, itu saja nurut ga jumatan, nurut ga tarawih jamaahan, karena dia sadar, gaada covid saja sering bengek kalau asthmanya kumat, jadi selama covid ya nurut ga jamaahan. Kalau sakit kan merepotkan dan menakutkan. Anaknya masih kecil2 kan. Dan dia kalau mulai ikut2an bilang pemerintah zalim karena ini-itu, Aku cuma bilang "ya sudah sih sana kalau mau jamaahan, tp kalau kenapa2 sakit dsb jangan merepotkan siapa2, jangan merepotkan mbakku ya." Akhirnya diam hahaha.
Btw, orang2 yang geger tentang covid itu, ada yang asal geger, ada yang karena faktor benci ke pemerintah, ada yang takut mati. Dan kayanya yang takut mati ini buanyakkkkk. Kepada yang takut mati ini Aku komentar begini "takut mati ya wajar, tapi secukupnya saja, karena mati itu suatu kewajaran, semua orang bakal mati, mau ngumpet di bawah batu pun, kalau mati sudah datang, ya mati, gabisa kabur. Mati itu dipersiapkan. Amal ibadah diperbanyak. Buat wasiat siapa tahu kena covid terus mati kan. Kalau sudah begitu, bisa tenang." Mati itu suatu kewajaran. Persiapkan. Aku saja sudah bikin wasiat. Beneran. Imbas dari pernah merasa mau mati. Makanya sorenya langsung bikin wasiat dan sudah kubeberkan ke mbakku.
Oh ya terus ada yang melarang mudik, tapi sendirinya mudik. Lalu ada yg marah2 karena sudah patuh tidak mudik eh orang lain pada mudik. Itu keegoisan mereka. Melarang mudik karena takut covid ga kelar2, itu egois karena sudah melarang2 orang. Ketika sendirinya akhirnya mudik itu juga egois karena dia butuh mudik akhirnya jarkoni, egois namanya. Yg marah2 juga egois, kenapa selalunya meng-iri ke orang lain. Lalu ujung2nya ngata2in pemerintah. Ga perlulah seperti itu.
Aku tahun ini ga mudik. Selain taat pemerintah, ketidakmudikanku kuanggap sebagai bentuk Rasa cinta Rasa sayangku kepada ibuku. Ibuku sudah lanjut usia, takutnya begini, alhamdulillah Aku sehat tapi jangan2 pas di jalan ketempelan virus terus kubawa pulang waktu ketemu ibuku, ga mau Aku begitu. Makanya memilih tidak mudik. Lalu apakah Aku marah2, iri dengan orang lain yg kekeuh mudik, terus menyalahkan dan nyinyiri pemerintah, tidak! Karena apa yg kulakukan adalah bentuk Rasa cinta Rasa sayangku untuk ibuku. Masa menyesali keputusan sebagai bentuk Rasa cinta Rasa sayang ke ibu sendiri. Alhamdulillah lebaran bisa video call an dengan ibuku. Ya walaupun cuma akhirnya cuma saling memandang sambil senyum2 ga jelas, Karena ibuku sepertinya sedang kumat ketuliannya, itu sudah mengobati rindu. Alhamdulillah juga ibuku sepertinya dalam keadaan sehat, katanya sehat, juga agak gemukan
Aku tidak bisa mudik, tapi tetap kirim uang lebaran. Loh tidak usah munafik, byk org tua yang berharap dikasih anaknya, kadang mereka bilang "ya sudah gausah pulang dulu, yang penting jangan lupa kirimannya" seperti video simbah2 waktu itu, itu benar adanya. Ya sudah begitu saja. Ga usah pulang dulu daripada waswas, tetap mengirim jadi ibu tetap senang, semua senang, semua bahagia, enak kan?
Terhadap covid, bersikaplah sewajarnya. Tidak usah berlebihan. Sikap berlebihan mulai dari mengeluh berlebihan, menyalah2kan berlebihan, takut mati berlebihan, itu seperti lupa kepada Tuhannya. Dan itu sungguh memalukan kalau merasa seorang hamba. Ingat itu. Semua sudah ada yang mengatur. Ingat new normal. Walaupun buatku normal2 saja ga new2 banget hahaha. Pake masker, cuci tangan pake sabun, cuci muka. Lalu banyak berdoa. Amal ibadah dibagusin, kan katanya takut mati. Jangan cuma Di bibir saja takut matinya tapi tidak ada perubahan ke yg lebih baik. Insyaallah kita bisa menjadi pemenang. Penyintas tangguh dari pandemi ini yang selalu dalam kasih sayang-Nya. Amiin.
Kok bisa? Begini ya, 2 bulan di rumah saja itu bukan pengorbanan, untuk diri sendiri kok peritungan, kalaupun itu pengorbanan, untuk diri sendiri kok ga mau berkorban, untuk diri sendiri loh, bukan untuk orang lain, kalau ada imbasnya ke orang lain, itu sekedar collateral effect saja, tidak usah dipikirkan. Juga tidak ada yang sia-sia. Karena ketika 2 bulan di rumah saja itu, misalnya kita sering keluyuran, siapa bisa jamin kita tidak terkena virus, jangan2 kita termasuk orang yang tidak kuat, ikut2an seperti yang lain keluyuran eh kena virus, makanya harus tetap bersyukur selama 2 bulan itu tetap di rumah saja.
Lalu ada yang komentar, orang kok susah diatur, disuruh di rumah saja kok masih bandel keluyuran. Coba cara berpikir diubah. Alhamdulillah kita tetap bisa makan dengan layak, enak, rebahan, ga mikir, walaupun di rumah saja, tetapi orang2 yang tetap keluar rumah itu mungkin karena kalau tidak keluar rumah tidak bisa makan layak, enak. Loh kalau Kita bisa makan layak dan enak, masa mereka tidak boleh. Mereka yang masih keluar rumah itu mungkin juga inginnya seperti kita, tetap di rumah saja, rebahan, nyantai, tetap bisa makan layak dan enak. Tapi kan nasib orang beda-beda. Coba berpikir begitu, agar lebih adem.
Tapi memang, banyak di antara orang2 yang masih keluar2 rumah keluyuran itu tujuannya bukan untuk mencari nafkah, ngeluyur aja gitu karena bosan di rumah terus, atau karena memang bandel ga bisa diatur, dan alasan2 lainnya. Itu juga tidak perlu disebeli, dikeseli, dilihat saja, biasa. Loh, orang kampungku di Jakarta ini, seminggu pertama WFH doang sepinya, orang ga kemana2, tapi minggu kedua dan seterusnya, biasa lagi. Keluar2 keluyuran kembali membahana. Aku biasa saja melihatnya. Tidak berkomentar apapun. Karena prinsipku itu gampang, Aku ini bukan pemerintah jadi ga mau ngatur2 orang, orang lain mau apa silakan saja dengan risiko ditanggung sendiri. Yang penting Aku ikut anjuran pemerintah, stay at home, keluar kalau memang perlu banget lengkap dengan precautionnya. Dan yang aku ingatkan cuma keluarga kakakku. Ikuti anjuran pemerintah, gausah banyak keluar rumah, buat apa, kalau perlu banget pake masker jangan lupa, pulangnya cuci tangan cuci muka. Setelah itu, hiduplah seperti biasa. Tidak usah takut berlebihan, heboh berlebihan, dramak berlebihan. Biasa saja.
Ke sanak saudara yang di kampung, karena jauh, kadang muncul perasaan cemas. Melihat postingan keponakan yang tetap main futsal, rame2 sama temen2nya, dll itu, paling Aku WA "ya sudah hati2 saja, banyak berdoa, ingat mamamu itu punya asthma." "Jangan lupa pake masker, kalau ga perlu gausah keluar2." Simpel. Aku bukan tipe orang yang hobi melarang2 atau terlalu banyak menasihati. Bukan gayaku itu. Aku ini observer dan akan memberikan segambreng penilaian pada waktunya hahaha.
Terkait covid19 ini, ada yg mau diatur, ada yang susah diatur, ada yang taat di rumah saja, ada yang tetap keluyuran ke mana2. Aku malah melihatnya sebagai suatu keseimbangan. Kalau semua orang diam di rumah lalu semua jadi sepi seperti Kota mati, bukankah itu menakutkan, sepertinya covid19 ini benar2 menakutkan. Kalau semua orang keluyuran seperti biasa, kesannya kok meremehkan covid19 yang ditakuti banyak negara. Jadi sudah benar orang Indonesia ini. Loh coba kalau semua orang diam di rumah, orang makin ga berani keluar rumah, padahal kadang sesekali perlu keluar rumah untuk belanja sembako, ke ATM, atau kemana. Barokahnya ada orang gabisa diurus itu kan, org2 yg terlalu takut sampai rela mengurung diri di rumah itu kan kalau pas perlu banget keluar jadi ga takut, pasti bakal mikir "bismillah, insyaallah gapapa cuma sekali ini, ada perlu banget soalnya, org2 yg keluyuran itu aja gapapa kok" jadi berani keluar. Lah kalo sepi-pi-pi kaya Kota mati, bisa2 mikirnya "jangan keluar, nanti bisa2 pas kita keluar Kita kena trs mati, lihat tuh gaada yg berani keluar, ini serem banget soalnya sampai gaada yg berani keluar."
Aku senang dengan kampungku di Jakarta ini, karena orangnya nyantai. Loh kalau Aku ini simpel. Mereka nyantai, biar saja, cukup Aku isolasi diriku sendiri, gapapa. Saking nyantainya, kampungku tidak pakai portal2an. Kampung2 yang lain itu pada diportal pintu masuk gangnya. Dan Aku sebel sekali melihatnya. Sadar ga sih kalau portal2an itu bentuk keegoisan dan menyusahkan orang lain. Egoisnya begini, mereka dari dalam masih keluar2, tapi melarang orang masuk, loh kalau melarang orang masuk harusnya mereka jangan keluar dong, baru adil itu namanya. Gausah diportal, tinggal sabar diam di rumah saja. Apa iya virusnya bakal terbang dari jalan depan rumah lalu masuk ke dalam rumah kalau misal ada orang covid lewat depan rumah? Sepertinya tidak begitu penyebarannya. Juga portal itu menyusahkan orang lain. Tukang sayur yang biasa lewat tidak bisa lewat, penjualan turun, atau terpaksa muter jauh, itu merepotkan sekali. Juga sebenernya menyusahkan diri sendiri, biasa bisa belanja di depan rumah tinggal nunggu tukang sayur lewat ini jadi ga bisa. Lalu menyusahkan ojol mesti muter2. Intinya portal itu menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Menyusahkan diri sendiri itu namanya bodoh, menyusahkan orang lain itu dosa. Ngerti itu kan? Ngerti tapi tetap portal2an.
Terus Ada yang komentar, lah itu komplek yang sudah diportal dari dulu kok ga dikomen? Lah itu kan sudah biasa dari dulu, ya begitu. Itupun menurutku tetap tidak baik. Yang namanya jalan itu untuk lewat orang banyak. Kenapa menutup jalan padahal sendirinya butuh lewat jalan lain, kecuali keluar rumah pake terbang, silakan portal, wong masih butuh lewat jalan lain kok portal2an, sungguh suatu bentuk keegoisan, kesombongan, kebodohan (Karena menyusahkan diri sendiri kan jadi muter juga kalau kemana2), dan menyusahkan orang lain itu dosa. Dan kampungku di Jakarta ini tidak dipasang portalnya, seperti biasa portal dipasang jam 1 malam saja, habis subuh sampai jam 1 malam tetap dibuka, jadi orang tetap gampang keluar masuk, ojol tetap gampang kalau lewat, tukang sayur dan tukang jualan yang lain tetap bisa lewat seperti biasa.
Oh ya, beberapa waktu lalu, ada orang di kampungku yang sekeluarga positif Corona. Aku tadinya mengira mungkin kampungku bakal ikut2an lockdown2an ga jelas itu, lalu sepi, ternyata tetap biasa saja. Kehidupan berjalan seperti biasanya. Karena orang di kampung sudah ada yang positif, paling Aku mengingatkan keluarga kakakku, kalau mesti keluar jangan lupa pake masker, kalau ke warung pake masker, gausah kebanyakan ngobrol, langsung pulang. Wong kakakku nanya 'jadi kita jangan lewat depan rumahnya atau gimana, mis?" Jawabku "lewat ya lewat saja kalau memang jalannya situ, yang penting pake masker, trs berdoa." Loh, gausah takut berlebihan, takut berlebihan itu membuat stigma buruk, stigma buruk itu akibatnya lebih buruk, lihat akibatnya ke tenaga2 kesehatan itu. Alhamdulillah kampungku ga nambah covidnya. Dan bisa tetap biasa saja. Nice.
Di kampungku di Jakarta ini, Shalat jamaah tetap berjalan seperti biasa. Seperti biasa, yang rajin ke mushala doang yang jamaahan, yang ga rajin ke mushala ya engga. Nah ini yang lucu, jarang jamaahan, jumatan kadang2 tapi ributnya kaya orang paling alim sedunia, ngata2in pemerintah zalim krn melarang jamaahan. Padahal yang biasa jamaahan Aku lihat tidak banyak komentar, karena mereka sudah hafal siapa2 yang biasa jamaahan dan siapa yang enggak. Yang biasa jamaahan malah ga ribut karena ga mau bermasalah malah nanti beneran ga boleh jamaahan, repot malah, mereka memilih meng-off-kan speaker mushala/masjid, lalu jamaahan seperti biasa. Jd yg ga tahu, ngertinya mushala ditutup, padahal jamaahan seperti biasa, bandel memang, hahaha. Makanya Aku malah balik komentar ke orang2 seperti itu "halah biasanya juga ga jamaahan, jumatan juga jarang2, ndadak ribut mushala/masjid dilarang". Tarawih, tadarus, juga tetap biasa. Dengan speaker off. Lalu apakah orang yg ribut pemerintah zalim itu ikut jamaahan? Tidak juga. Memang maunya ribut saja mereka. Kakak iparku itu termasuk rajin ibadahnya, itu saja nurut ga jumatan, nurut ga tarawih jamaahan, karena dia sadar, gaada covid saja sering bengek kalau asthmanya kumat, jadi selama covid ya nurut ga jamaahan. Kalau sakit kan merepotkan dan menakutkan. Anaknya masih kecil2 kan. Dan dia kalau mulai ikut2an bilang pemerintah zalim karena ini-itu, Aku cuma bilang "ya sudah sih sana kalau mau jamaahan, tp kalau kenapa2 sakit dsb jangan merepotkan siapa2, jangan merepotkan mbakku ya." Akhirnya diam hahaha.
Btw, orang2 yang geger tentang covid itu, ada yang asal geger, ada yang karena faktor benci ke pemerintah, ada yang takut mati. Dan kayanya yang takut mati ini buanyakkkkk. Kepada yang takut mati ini Aku komentar begini "takut mati ya wajar, tapi secukupnya saja, karena mati itu suatu kewajaran, semua orang bakal mati, mau ngumpet di bawah batu pun, kalau mati sudah datang, ya mati, gabisa kabur. Mati itu dipersiapkan. Amal ibadah diperbanyak. Buat wasiat siapa tahu kena covid terus mati kan. Kalau sudah begitu, bisa tenang." Mati itu suatu kewajaran. Persiapkan. Aku saja sudah bikin wasiat. Beneran. Imbas dari pernah merasa mau mati. Makanya sorenya langsung bikin wasiat dan sudah kubeberkan ke mbakku.
Oh ya terus ada yang melarang mudik, tapi sendirinya mudik. Lalu ada yg marah2 karena sudah patuh tidak mudik eh orang lain pada mudik. Itu keegoisan mereka. Melarang mudik karena takut covid ga kelar2, itu egois karena sudah melarang2 orang. Ketika sendirinya akhirnya mudik itu juga egois karena dia butuh mudik akhirnya jarkoni, egois namanya. Yg marah2 juga egois, kenapa selalunya meng-iri ke orang lain. Lalu ujung2nya ngata2in pemerintah. Ga perlulah seperti itu.
Aku tahun ini ga mudik. Selain taat pemerintah, ketidakmudikanku kuanggap sebagai bentuk Rasa cinta Rasa sayangku kepada ibuku. Ibuku sudah lanjut usia, takutnya begini, alhamdulillah Aku sehat tapi jangan2 pas di jalan ketempelan virus terus kubawa pulang waktu ketemu ibuku, ga mau Aku begitu. Makanya memilih tidak mudik. Lalu apakah Aku marah2, iri dengan orang lain yg kekeuh mudik, terus menyalahkan dan nyinyiri pemerintah, tidak! Karena apa yg kulakukan adalah bentuk Rasa cinta Rasa sayangku untuk ibuku. Masa menyesali keputusan sebagai bentuk Rasa cinta Rasa sayang ke ibu sendiri. Alhamdulillah lebaran bisa video call an dengan ibuku. Ya walaupun cuma akhirnya cuma saling memandang sambil senyum2 ga jelas, Karena ibuku sepertinya sedang kumat ketuliannya, itu sudah mengobati rindu. Alhamdulillah juga ibuku sepertinya dalam keadaan sehat, katanya sehat, juga agak gemukan
Aku tidak bisa mudik, tapi tetap kirim uang lebaran. Loh tidak usah munafik, byk org tua yang berharap dikasih anaknya, kadang mereka bilang "ya sudah gausah pulang dulu, yang penting jangan lupa kirimannya" seperti video simbah2 waktu itu, itu benar adanya. Ya sudah begitu saja. Ga usah pulang dulu daripada waswas, tetap mengirim jadi ibu tetap senang, semua senang, semua bahagia, enak kan?
Terhadap covid, bersikaplah sewajarnya. Tidak usah berlebihan. Sikap berlebihan mulai dari mengeluh berlebihan, menyalah2kan berlebihan, takut mati berlebihan, itu seperti lupa kepada Tuhannya. Dan itu sungguh memalukan kalau merasa seorang hamba. Ingat itu. Semua sudah ada yang mengatur. Ingat new normal. Walaupun buatku normal2 saja ga new2 banget hahaha. Pake masker, cuci tangan pake sabun, cuci muka. Lalu banyak berdoa. Amal ibadah dibagusin, kan katanya takut mati. Jangan cuma Di bibir saja takut matinya tapi tidak ada perubahan ke yg lebih baik. Insyaallah kita bisa menjadi pemenang. Penyintas tangguh dari pandemi ini yang selalu dalam kasih sayang-Nya. Amiin.
Komentar
Posting Komentar